Senin, 11 Januari 2016

ADAT DAERAH DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW


Masyarakat Bolaang Mongondow sebelum pemekaran terdiri dari 4 etnik yaitu:
Etnik Mongondow
Etnik Kaidipang/Mokapok
Etnik Bintauna
Etnik Bolango

Keempat etnik ini memiliki adat dan kebiasaan sendiri-sendiri, pemerintahan sendiri selama berabad-abad, dimana adat kebiasaan tersebut secara turun-temurun dihormati dan dipatuhi. Dengan demikian keepat etnik tersebut merupakan satuan masyarakat adat yang memiliki ciri dan identitas sendiri sebelum kedatangan bangsa Eropa (Spanyol, Portugis dan Belanda) yang menjajah negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan di Nusantara termasuk keempat etnik/kerajaan tersebut.


Ciri masyarakat adat tersebut masih sangat kental sampai saat ini dapat dilihat dari berbagai upacara seperti tata cara perkawinan, upacara kematian atau kedukaan, prosesi penjemputan tamu kehormatan, etiket sopan santun, pemberian gelat adat kepada pejabat tinggi negara dan sebagainya.

Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Bolaang Mongondow dan raja-rajanya masih menganut Animisme dan raja-raja selanjutnya menganut agama Kristen Katholik yang dibawa oleh bangsa Eropa (Spanyol dan Portugis) yang menyebarkan agama tersebut sampai di kepulauan Philipina terus menyebar ke selatan, tanah Minahasa, Bolaang Mongondow dan Maluku. Oleh sebab itu raja-raja Bolaang Mongondow setelah kedatangan bangsa Eropa umumnya dinamakan menurut agama Kristen Katholik seperti Fransiscus Manoppo, Salomon Manoppo, Eugenius Manoppo, Christofel Manoppo, Cornelius Manoppo dan lain sebagainya yang akan diuraikan lebih lanjut.

Sebelum kedatangan bangsa Eropa, raja-raja Mongondow bergelar Punu’ (Tuang) dimana tercatat ada 6 (enam) raja bergelar Punu’ mulai dari tahun 1400 – 1650 sebagai berikut:
Punu’ Mokodoludut 1400 – 1460
Punu’ Yayubangkai 1460 – 1480
Punu’ Damopolii 1480 – 1510
Punu’ Busisi 1510 – 1540
Punu’ Mokodompit 1560 – 1600
Punu’ Tadohe 1600 – 1650

Punu’ Damopolii beristerikan Putri Minahasa bernama Ganting-ganting adalah seorang Putri dari keluarga Tiwow di Buyungon dengan membayar Yoko’/Tali’ berupa tanah dari sungai Ranoyapo, Lewet sampai dengan muara sungai Poigar seluas 720 Km2. Pembayaran Yoko’ tersebut diketahui oleh Walak Minahasa yang mengetahui persis bahwa Yoko’ tersebut harus menuruti adat Bolaang Mongondow. Selanjutnya di zaman Punu’ Mokodoludut dibuatlah kesepakatan para Bogani di tanah Mongondow bahwa:
Mokodoludut dan keturunannya dari generasi-kegenerasi harus menjadi Raja
Barangsiapa yang menentang Raja akan dikenai kutukan:
Butungon (kena kutukan)
Rumondi na’ Buing (menjadi hitam seperti arang)
Dumarag na’ Kolawag (menjadi kuning seperti kunyit)
Yumiow na’ Simuton (larut seperti garam)
Kimbuton in Tolog (ditelan arus air)
Doroton in Motonyanoy (ditindas oleh Dewata)
Raja bergelar Punu’ atau Tuang dan anak-anaknya diberikan gelar bangsawan Abo’ untuk laki-laki dan Boki’ atau Bua’ untuk perempuan.

Ketentuan ini berlaku terus-menerus dan sangat dipatuhi oleh masyarakat Mongondow sampai adanya perubahan oleh Punu’ ke-enam (Punu’ Tadohe) yang membagi masyarakat Bolaang Mongondow atas enam strata, yaitu”

1) Mododatu

2) Kohongian

3) Simpal

4) Nonow

5) Tahig

6) Yobuat

Ditegaskan pula bahwa apabila rakyat memanen padi jagung harus menyerahkan beberapa gantang kepada Raja, tanaman pisang yang pertama berbuah harus diserahkan kepada raja, apabila seseorang rakyat yang kaya meninggal dunia maka sepertiga dari kekayaannya sebelum dibagi kepada keluarga pewaris diserahkan kepada raja. Apabila raja mangkat atau permaisuri, maka seluruh rakyat diwajibkan memakai pakaian hitam, tidak boleh memasang lampu pada malam hari sebelum jam 8 malam dan lain-lain keistimewaan.

II. Sejarah Raja-Raja

Adapun raja-raja Bolaang Mongondow yang bergelar Raja setelah berakhirnya gelar Punu’ adalah :
Raja Loloda Mokoagow atau Datu Binangkang 1653 – 1694

Raja ini terkenal agresif dan menyerang pulau Manado Tua sehingga rakyat Manado Tua lari ke Pulau Sangir dan tinggal 52 orang yang sakit-sakitan ditinggalkan kemudian diangkut oleh Gubernur Belanda Padsburg dan dibawa ke Sindulang.
Raja Yakobus Manoppo, putra Loloda Mokoagow hasil perkawinan dengan putri Minahasa yang kemudian menjadi Raja Mongondow pada tahun 1694 – 1695.
Raja Fransiscus Manoppo 1695 – 1731
Raja Salomon 1735 – 1748, Raja ini melindungi orang-orang Minahasa yang lari ke Bolaang Mongondow akibat penindasan seorang Hukum Besar di Minahasa dan menetap di Bolaang dan Mariri. Oleh Residen Manado, penduduk tersebut diminta dipulangkan ke Minahasa tetapi ditolak oleh Raja Salomon. Disamping itu Raja Salomon bertengkar soal perbatasan dengan Raja Kaidipang yang menyebabkan Raja tersebut dipenjarakan oleh Belanda di Ternate kemudian pindah ke Batavia selanjutnya dibuang ke Afrika Selatan (Tanjung Harapan) selama ± 8 tahun. Sepeninggalnya Raja Salomon karena dibuang ke Afrika Selatan maka di Bolaang Mongondow timbul kerusuhan bahkan pembunuhan-pembunuhan politik oleh beberapa keluarga raja yang ingin menjadi raja tetapi mendapat perlawanan yang kuat dari Jogugu Yambat Simon Damopolii yang didukung rakyat mendesak kepada pemerintah Belanda untuk mengembalikan Salomon Manoppo ke Bolaang. Permintaan tersebut dipenuhi dengan janji bahwa bila Salomon hidup. Raja Salomon tiba di Bolaang pada 15 Maret 1756 dan diangkat kembali menjadi raja pada tanggal 10 Agustus 1764.
Raja Egenius Manoppo 1764 – 1770 (Raja ini akhirnya menjadi gila dan digantikan oleh raja ke-enam)
Raja Christofel Manoppo 1767 – 1770
Raja Markus Manoppo 1770 – 1773
Raja Manuel manoppo 1779
Raja Cornelius Manoppo 1825 – 1829
Raja Ismail Cornelis Manoppo 1825 – 1829
Raja Yakobus Manuel Manoppo 1833 – 1858 (Raja ini masuk agama Islam)
Raja Adreanus Cornelis Manoppo 1858 – 1862
Raja Yohanes Manuel Manoppo 1862 (Penggantinya tidak ada selama beberapa tahun hingga diangkat Raja Abraham Sugeha 1886 – 1893)
Raja Ridel Manuel Manoppo 1893 – 1905
Raja Datu Cornelius Manoppo 1905 – 1928
Raja Laurens Cornelius Manoppo 28 Juni 1928
Raja Henny Yusuf Cornelius Manoppo 4 September 1947 – Juni 1950

Catatan :

Raja Laurens Cornelius Manoppo di non-aktifkan dan untuk menjalankan pemerintahan diangkat Van Bieren dibantu oleh dua orang pengawas yaitu H.D. Manoppo dan Mokodompit.

III. Asal-Usul Orang Mongondow



Orang Mongondow menurut Wilken dan Y.A.T. Schwars (1867) terdiri dari 5 (lima) suku/Sub etnis, yaitu:
Intau Polian, diperkirakan bermukim di daerah Lolayan (Intau in Tudu Polian)
Intau Buluan, diperkirakan bermukim disekitar Kelurahan Mongondow sekarang ini dan sekitarnya, mengambil nama seorang Bogani Bulu Mondow(Ismail Tolat, 1975).
Intau Lombagin, disekitar Inobonto/muara sungai Ongkag Mongondow sekarang ini dan sekitarnya.
Intau Binangunan, bermukim disekitar lereng gunung Ambang.
Intau Dumoga, sekitar gunung Bumbungon.

IV. Adat Kebiasaan Orang Mongondow

Sampai sekarang ini beberapa bagian Adat Bolaang Mongondow masih dipatuhi dan dihormati masyarakat. Antara lain, ketika mengadakan pesta pernikahan, upacara kematian (Tonggoluan) dan tata cara berpakaian, upacara menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin pria, penjemputan tamu kehormatan dan pemberian gelar kehormatan.

Upacara adat pernikahan yang dilakukan di desa-desa Bolaang Mongondow pada intinya tetap sama meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaannya, dimana banyak bagian-bagian yang tidak berlaku lagi.

Upacara perkawinan/pernikahan adat tersebut dalam bentuk tertulis, telah ditulis oleh W. Dunnebier seorang misionaris (Zendeling) asal Belanda yang menelliti daerah ini ± 25 tahun (1905 – 1939) dengan judul asli “Verlopen en Trouwen in Bolaang Mongondow” tahun 1935. Upacara perkawinan ini diterjemahkan oleh B. Ginupit dalam Bahasa Indonesia “Pertunangan dan Perkawinan” yang menceritakan perkawinan seorang pemuda bernama Singkuton anak dari Moonik dan istrinyaAngkina dengan seorang perempuan bernama Dayag anak dari Abadi dan istrinyaIbud.

Ringkasnya prosesi perkawinan tersebut adalah sebagai berikut:
Meminang, (melamar) – moguman don mobuloi
Bila pertunangan diterima, dilanjutkan oleh tokoh-tokoh adat (guhanga) meminta imbalan (yoko’). Pada jaman dahulu yoko’ tersebut bisa berupa barang seperti sebidang tanah berisi tanaman kelapa, (lontad in bango’), rumpun rumbia, ternak terdiri dari sapi, kuda, maupun barang-barang berharga lainnya dan uang.
Guat, berupa pemberian pihak keluarga calon pengantin pria untuk memisahkan (guat) calon pengantin wanita dari ibu dan bapaknya.
Uku’ ukud, pemberian bantuan biaya dalam bentuk uang sesuai kesepakatan antar keluarga.
Taba’ adalah utusan pihak keluarga wanita kepada keluarga pihak pria bahwa seorang pemuda bernama “A” telah meminang seorang wanita dari keluarga bernama “B”.
Mahar, pemberian yang diminta oleh calon pengantin wanita kepada calon pengantin pria (hal ini menurut syariat Islam dalam bentuk cincin atau apapun yang diminta oleh pengantin wanita).
Upacara Pernikahan, pembacaan Ijab Qabul oleh orang tua pihak wanita (semacam penyerahan tanggungjawab memelihara/menjaga pengantin wanita dengan membayar sejumlah uang tunai (Akad Nikah)
Gama’, menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin pria yang terdiri dari 13 (tigabelas) tahapan sebagai berikut:

1) Tompangkoi in Gama’ – Persiapan

2) Lampangan kon tutugan in lanag – melangkah ke tirisan atap.

3) Lolanan kon tubig – menyeberang sungai.

(ketiga tahap pertama ini dilakukan di rumah pengantin wanita).

4) Poponikan kon tukad – menaiki tangga rumah

5) Lampangan kon tonom – melangkah ke pintu rumah

6) Puat in kaludu’ – membuka kerudung

7) Pilat ini siripu – melepaskan sepatu

8) Pilat in paung – menutup payung

9) Pinogapangan – pendampingan

10) Pinomama’an – makan sirih pinang

11) Pinonduya’an – meludah (setelah makan sirih)

12) Pinogiobawan/pinolimumugan – makan dan berkumur

13) Pinobuian – pulang/kembali kerumah pengantin wanita

V. Upacara Adat Kematian

Bila seorang anggota keluarga meninggal dunia, maka diadakan upacara adat kematian sebagai berikut:
Pemberitahuan kepada khalayak/masyarakat bahwa ada anggota keluarga/warga kampung yang meninggal dunia dengan memukul gong (golantung) ke seluruh kampung. Di rumah orang yang meninggal dipasangArkus berupa hiasan dari daun enau muda yang dipasang pada lengkungan sebatang bambu dibelah empat dan dibentuk kerucut masing-masing belahan ditempatkan pada empat sisi yang dipasangi tiang bambu (matubo).
Bila yang meninggal itu suami maka anggota keluarga pihak suami datang dengan barang-barang hantaran boleh juga berupa uang ditaruh di atas piring antik, bersama sisir, bedak, cermin, dipimpin oleh seorang guhanga. Sedangkan istri/janda dari suami yang meninggal duduk disamping persemayaman jenazah (tonggoluan) dan dengan bahasa Mongondow (halus) guhanga mengatakan: “wahai ibu/saudari kali ini anda telah putus hubungan dengan suami bukan karena cerai tetapi atas kehendak Ilahi (bontowon) tetapi masih ada hubungan tanda mata berupa anak-anak dan cucu”. Sesudah itu diserahkan piring antik untuk menampung air mata.

Langkah berikut diserahkan bungkusan berupa uang dan istri/jandanya diajak berjalan ke arah jendela dan guhanga tersebut berkata lagi: “wahai ibu/saudari lihatlah betapa luasnya alam raya di luar sana, mulai saat ini tidak ada lagi halangan bagimu untuk melakukan kegiatan selanjutnya”.

Bagi orang Mongondow yang beragama Islam biasanya setelah pemakaman diadakan pengajian selama 3 (tiga) hari, 7 (tujuh) hari dan sesudah itu tonggoluan 9tempat persemayaman jenazah) dibongkar dan diberi sejenis Itu-itum, monginsingogyang dilakukan oleh seorang Iman sambil membakar kemenyan berkata: “wahai Almarhum, sekalipun engkau telah dimakamkan, kami tetap mengenangmu, namun kita sudah berbeda alam/alam nyata dan alam arwah, Anda pasti melihat kami karena penglihatanmu sangat terang sekarang, tetapi demi kehidupan kami selanjutnya maka janganlah bersedih hati tempat tidurmu kami akan benahi/bongkar karena Anda telah berpindah ke alam gaib, sedangkan kami masih melakukan tugas kehidupan nyata di dunia dan seterusnya”.

Selesai upacara itu yang biasa dilakukan adalah Hataman Qur’an, maka upacara selesai dan para undangan/pelayat pulang ke rumah masing-masing.

VI. Upacara Adat Penjemputan Tamu dan Pemberian Gelar Kehormatan

Apabila ada seorang pembesar negeri berkenan mengunjungi suatu tempat atau desa/kota, maka seluruh kota/desa dipersiapkan sedemikian rupa kebersihan/kerapihan dengan memasang umbul-umbul, arkus disetiap rumah danmatubo di tempat penjemputan.

Ketika saat tamu pembesar negeri itu tiba, diadakan jemputan berupa Tari Perang/Mosau oleh sekelompok penari/penjemput yang bersenjatakan tombak dan perisai yang dikomandani oleh seorang komandan diiringi dengan bunyi tetabuhan (tambur). Pada tempat yang sudah ditentukan, seorang guhanga dan pemangku adat mengucapkan Itu-itum sejenis ucapan selamat datang dan doa. Setelah itu tamu pembesar negeri tersebut dipersilahkan masuk ke dalam rumah dan duduk di tempat yang sudah ditentukan. Bila pembesar negeri itu seorang Kepala Negara, maka akan diberi gelar yang tinggi “Ki Tule Molantud”, “Ki Sinungkudan”, Tonawat dan diberi hadiah berupa Pedang Mongondow yang berlapis emas pada hulu pedang dan sarung pedang (guma’) terbuat dari kayu hitam/ebony yang memakai ikat (tombasi) berupa emas. Biasanya pemberian tersebut diletakkan dalam kotak kaca yang telah disediakan dan untuk “penawar” agar pedang itu tidak membahayakan pemakai kelak, maka Sang Pembesar Negeri harus memberi sekeping uang logam bernilai seratus atau sekarang lima ratus Rupiah kepada pemberi hadiah. Upacara kemudian dilanjutkan dengan penjemputan resmi seremonial.

VII. Kesimpulan

Selama ± 650 tahun Suku Mongondow telah berkali-kali menerapkan ketentuan adat sebagai berikut:

14. Zaman Pemerintah Mokodoludut, Bogani-bogani Mongondow menyepakati ketentuan bahwa Punu’ Mokodoludut (Tuang in Bolaang Mongondow) diakui sebagaiPunu’ (Raja) dan keturunannya dari generasi ke generasi memiliki hak menjadi raja.

Disepakati pula bahwa barang siapa yang melawan/melanggar perintah Raja, akan mendapatkan kutukan (laknat) sebagai berikut:
Butungon (dilaknat/kualat)
Rumondi na’ Buing (menghitam bagai arang)
Dumarag na’ Kolawag (menguning bagai kunyit)
Tumonop na’ Lanag (meresap bagai air tirisan)
Kimbuton in Tolog (ditelan arus)
Doroton in Motonyanoi (ditindas oleh Dewata)

15. Zaman Pemerintah Punu’ Tadohe (1600 – 1650) Masyarakat Bolaang Mongondow dibagi atas lapisan-lapisan (Stratifikasi) sebagai berikut:

1) Mododatu

2) Kohongian

3) Simpal

4) Nonow

5) Tahig

6) Yobuat

16. Zaman Raja Yakobus Manuel Manoppo ada kesepakatan di Bolaang Mongondow pada bulan September 1849 dimana diatur status anak/keturunan dari perkawinan campuran antara bangsawan dan non-bangsawan, aturan tentang tata cara bepakaian serta hukuman bagi pelanggar pidana seperti membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain, keseluruhan aturan/kesepakatan itu berjumlah 67 pasal.a

17. Zaman sekarang ini, sebagian besar hukum adat Bolaang Mongondow telah ditinggalkan orang dan yang tersisa serta masih berlaku adalah adat perkawinan, upacara adat kematian dan penjemputan adat serta pemberian/ penghargaan/penobatan gelar adat bagi pejabat tinggi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar