Minggu, 29 November 2015

Seni dan Budaya Masyarakat Pulau Panggang

Seni dan Budaya Masyarakat Pulau Panggang




Rebana merupakan seni tradisi yang bernafaskan Islam. Dengan didukung oleh alat berbentuk kendang kecil berjumlah tiga buah, rebana merupakan kesenian Islami yang sangat menarik untuk dilihat. Menurut Mustafa, salah satu penyebar rebana di Pulau Panggang, seni rebana di Pulau Panggang kini hanya tinggal kenangan. Ketika ditemui di rumahnya, ia bertutur banyak hal, mulai dari sejarah hingga ke cara memainkan alat rebana.

Sejarah rebana di Pulau Panggang mulai ada pada sekitar tahun 1960-an. Pada pertengahan tahun 1950-an, terdapat satu keluarga yang datang dari Jakarta, lalu menyebarkan seni rebana tersebut. Penyebar dan pembina Rebana, yang kemudian dikenal dengan nama Mustafa itulah yang dianggap sebagai sosok yang pertama kali mengajarkan seni rebana bagi sebagian masyarakat Pulau Panggang.
“ Waktu itu, saya dan orangtua memang suka memainkan rebana. Lalu pak kepala desa pada saat itu meminta saya untuk mengajarkan rebana kepada remaja-remaja di sini. Karena saya sendiri masih bujang, jadi saya mau. Dan masyarakat juga sangat mendukung kegiatan ini. Saya saja suka dibantu beras, jadi tidak dibayar. Saya sendiri sih ikhlas karena waktu itu kan saya memang hobi mengajarkan rebana ini.”

Untuk mendapatkan suatu sajian musik rebana yang menarik, maka rebana harus dimainkan oleh 3 orang yang harus menguasai masing-masing alat (kendang) dengan cukup baik. Tiga buah rebana tidak memiliki satu komposisi musikal yang sama sehingga cara memukul dan menggaungkan iramanya sendiri berbeda-beda. Ketiga buah rebana tersebut diberinama kendang empat, kendang lima, dan kendang enam. Istilah tersebut juga untuk membedakan jenis pukulan dan irama musikal yang harus dikuasai oleh pemainnya.

Di samping itu, jenis pukulan yang harus dikuasai oleh pemain rebana terdiri dari sedikitnya 12 pukulan, yaitu: sorong, syiir, gambus, ketoprak, selamba, selamba empat, selamba melayu, selamba sambung, sambung, sorong sambung, sambung ragap, dan asyrakal. Ketika masing-masing jenis pukulan diterapkan pada masing-masing kendang, maka ia akan memunculkan irama musikal yang berbeda-beda karena masing-masing kendang memiliki suatu aturan musikal tersendiri. Masing-masing jenis pukulan masih memiliki variasi yang bermacam-macam sehingga untuk menguasai permainan rebana membutuhkan waktu yang relatif lama.

Tanda lagu atau not yang dimiliki oleh rebana sangat berbeda dengan model tanda lagu yang dimiliki oleh jenis musik modern. Not balok yang ada tidak terdiri dari susunan angka, melainkan hanya berbentuk silang dan bulat ditambah dengan tanda garis bawah untuk menandai apakah pukulan yang dimainkan harus cepat atau tidak. Berikut contoh tanda lagu yang ada pada rebana.
Kendang Empat
Ο Ο X X X O
X O X O
X.O O O
X O X O
X.X X O
Kendang Lima
O O X X X X O
X O X O
X.O O O
X O X O
X O O O
Kendang Enam
O O.X X X X O
X X O X O
X O O O
X X X X O


Tanda bulat (O) menunjukkan suatu jenis pukulan yang harus memunculkan suara gaung (dung), sedangkan tanda silang (X) menunjukkan adanya suara tepak mati (pak). Menurut Mustafa, untuk menguasai satu jenis pukulan saja membutuhkan waktu sekitar satu bulan, sehingga untuk menguasai beragam pukulan dipastikan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Satu hal yang dinilai cukup sulit adalah bahwa memelajari jenis pukulan rebana paling tidak harus ditemani oleh dua orang yang telah menguasai jenis pukulan untuk mengiringi pukulan bagi yang sedang belajar.

Hingga tahun 1970-an, terdapat beberapa orang yang menguasai rebana dengan cukup baik. Mustafa sendiri cukup rajin untuk melatih anak-anak muda semasanya untuk belajar rebana secara terus-menerus. Pada waktu itu pula rebana sering dimainkan pada acara-cara ritual di masyarakat, seperti acara maulud[1] di hajatan masyarakat.

“ Waktu masih rame-ramenya dulu, di setiap acara maulud kita diundang dan diminta untuk memainkan rebana hingga larut malam. Jika di acara maulud, kita bisa memainkan seluruh jenis pukulan. Kecuali pada waktu ngarak pengantin atau menyambut tamu dari pemerintah, paling cuma memainkan tiga pukulan, yaitu syiir ragap, selamba ragap, dan sambung ragap. Dulu, setiap kita bermain rebana yang hadir dan menonton pasti banyak karena rebana ini sangat indah sekali didengar. Lagu-lagu yang dibawakan juga diambilkan dari kitab barzanji yang sudah akrab di sini.”

Tetapi pada akhir 1980-an, rebana mulai ditinggalkan. Hanya sesekali ia dipakai pada hajatan tertentu, khususnya pada waktu ngarak pengantin. Dan kini, rebana sudah benar-benar menjadi kenangan dan telah tergantikan oleh jenis kesenian baru yang lebih diterima oleh generasi masa kini. Mustafa sendiri menjelaskan bahwa “hilangnya” rebana di masa kini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya : pertama, tidak terdapatnya lagi minat generasi muda untuk memelajari rebana yang dinilai cukup sulit dan membutuhkan waktu serta kesabaran yang cukup. Generasi muda masa kini lebih memilih jenis kesenian modern yang sepertinya memberikan image tentang musik yang memberikan makna lebih prestisius.

Kedua,Mustafa sendiri sebagai guru di bidang ini mulai sibuk dengan pekerjaan sehari-hari sebagai nelayan yang harus kelaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Ia mengaku bahwa dirinya tidak lagi memiliki waktu yang cukup luang untuk mengajarkan permainan rebana kepada masyarakat sekitar.

Ketiga, tidak terdapat suatu dukungan dari berbagai pihak untuk “melestarikan” jenis kesenian tradisi Islam yang satu ini. Mustafa masih ingat ketika ia begitu gencar-gencarnya dalam memainkan dan mengajarkan rebana kepada generasi muda di sini. Selain lurah, hampir seluruh penduduk bersedia memberikan bantuan berupa beras atau yang lain sebagai tanda terima kasih sekaligus dukungan pemenuhan ekonominya. Tetapi, hal tersebut tidak ada lagi di masa kini. Dengan tidak adanya dukungan dari masyarakat, maka sangat sulit bagi Mustafa untuk meluangkan waktu mengajarkan rebana, karena pada saat yang sama ia sebagai kepala keluarga dituntut pergi kelaut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pemerintah daerah sendiri juga tidak memberikan perhatian yang serius bagi keberlangsungan seni tradisi yang satu ini sehingga maklum jika kemudian keberlangsungannya hanya tinggal imajinasi yang melekat pada segelintir orang seperti Mustafa. Dalam ungkapan lain, demi hidup, tradisi harus mati.

b. Q a s i d a h 
Seni tradisi yang satu ini juga bisa disebut sebagai seni tradisi islam. Hampir mirip dengan rebana, seni tradisi yang satu ini menggunakan kendang dan juga membawakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Meskipun kini juga kerap terlihat lagu-lagu yang berbahasa Indonesia, tetapi ia tetap kental dengan nuansa Islamnya.

Di Pulau Panggang sendiri, asal mula perkembangan qasidah dimulai pada akhir tahun 1960-an. Selain Mustafa yang ikut serta mengembangkan qasidah, terdapat pelatih lain yang juga giat mengembangkan seni tradisi yang satu ini, yaitu orang yang bernama Yusuf. Bersama dengan Mustafa, Yusuf yang sebelumnya telah belajar qasidah dari darat (Jakarta) membagi kemampuannya dalam memukul kendang kepada generasi perempuan dan laki-laki Pulau Panggang. Maman, ketua grup qasidah Nurhasanah Pulau Panggang mengatakan bahwa ia sendiri belajar qasidah dari Yusuf. Ia mengenang bahwa pada waktu itu, terdapat dua kelompok generasi qasidah yang masing-masing terdiri dari grup laki-laki bernama al-Amin dan grup perempuan bernama an-Ni’mah.

Dari segi alat yang dipergunakan, qasidah lebih bervariasi dibanding rebana. Peralatan qasidah terdiri dari kendang kecil dan kendang besar hingga berjumlah belasan. Hal tersebut terhantung pada jumlah personil yang tergabung pada grup qasidah itu sendiri. Artinya, peralatan qasidah tidak seketat rebana yang hanya terdiri dari tiga kendang kecil dengan jenis pukulan yang khusus pula. Cara memainkan kendang qasidah dinilai lebih mudah dibanding rebana.

Pada masa “kejayaan” qasidah, seni tradisi ini juga kerap ditanggap oleh masyarakat pada acara-acara hajatan masyarakat atau ketika menyambut tamu penting. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan rangkaian perubahan yang terjadi di Pulau Panggang, grup qasidah An-ni’mah dan al-Amin mulai pudar. Baru pada awal tahun 2000-an, qasidah mulai dimunculkan kembali. Salah satu grup yang paling tua saat ini, yaitu Grup qasidah Nurhasanah merupakan salah satu grup yang paling eksis, meskipun personilnya bukanlah sosok-sosok yang muda lagi karena sebagian di antaranya merupakan orang perorang yang dulu pernah bermain di grup An-ni’mah. Meskipun terdapat beberapa grup qasidah lain yang lebih muda, tampaknya belum sepopular grup qasidah Nurhasanah pimpinan Maman ini.

“Sebenarnya saya sendiri suka diminta oleh ibu-ibu di bagian barat untuk melatih mereka. Tapi ibu-ibu dari Nurhasanah binaan saya terkadang kurang menyetujui, takutnya saya tidak lagi fokus ke mereka. Saya juga sempat diminta oleh kepala Sekolah SMP di Pulau Pramuka untuk melatih anak-anak, tetapi ia bilang bahwa tidak ada anggaran untuk itu. Terus-terang saya keberatan karena bukankah guru-guru yang lain aja dibayar, masak saya tidak? Bukankah dalam hal ini kita juga sama-sama guru? Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu berharap ada bayaran yang banyak, cukup untuk transportasi dan uang rokok, tapi karena tidak ada kepastian ya saya sendiri jadi keberatan,” ujar Maman.

Saat ini, qasidah menjadi seni tradisi yang lebih eksis dibanding seni tradisi yang pernah ada di pulau ini. Pada waktu perlombaan qasidah di tingkat kabupaten misalnya, terdapat belasan grup yang berkompetisi untuk memperebutkan gelar juara. Pada berbagai acara hajatan di masyarakat pun masih kerap ditanggap, misalnya untuk mengiringi arak-arakan pengantin keliling pulau. Lagu-lagu yang dibawakan tidak melulu syair-syair arab sebagaimana rebana, tetapi banyak juga lagu-lagu kontemporer seperti pengantin baru, perdamaian, jilbab putih yang sempat dipopularkan oleh grup Nasida Ria asal Semarang Jawa Tengah. Sayangnya, pembinaan terhadap seni tradisi Islam yang satu ini masih mengalami banyak kelemahan. Di antaranya, sulit untuk melakukan latihan rutin secara konsisten. Personil qasidah yang terdiri dari perempuan dinilai menjadi faktor ketidakkonsistenan tersebut. Para personilnya kerap disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga, pengajian, arisan, dan sebagainya sehingga turut menjadi kendala untuk menggelar latihan secara rutin.

Di samping itu, pengembangan peralatan juga masih sangat minimal. Maman mengatakan bahwa selama ini untuk memperoleh peralatan seperti kendang saja harus menyisihkan dari uang bayaran yang mereka peroleh dari tanggapan di acara hajatan masyarakat. Grup qasidah Nurhasanah sendiri misalnya, sudah pernah mengajukan permohonan ke pemerintah daerah untuk bantuan peralatan, tetapi tidak pernah direspon. Maka wajar pula jika grup sendirilah yang harus pandai-pandai menyiasati bagaimana mengupayakan adanya peralatan sendiri, mulai dari kendang hingga pakaian.

Berbeda dengan rebana yang kesulitan untuk melakukan regenerasi, qasidah relatif lebih hidup dan masih memunculkan minat dari generasi masa kini. Keberadaan beberapa grup qasidah yang menyebar dari pulau ke pulau merupakan wujud dari tetap kuatnya minat itu. Kini, qasidah yang hidup menghampar di tengah-tengah tantangan modernitas itu tengah berupaya untuk menciptakan formulasi bertahan hidup. Harapan agar ia diperhatikan oleh pihak penguasa merupakan bagian dari upaya untuk mempertahankan hidup itu. Gempuran musik modern seperti pop, dangdut, dan perubahan sosial yang ditandai oleh keberadaan media informasi dan media hiburan yang lain akan memunculkan pertanyaan; apakah qasidah akan bernasib seperti rebana ataukah ia akan tetap bisa dinikmati oleh generasi mendatang sangat tergantung pada keinginan berbagai pihak untuk menjadikan qasidah sebagai ruang artikulasi masyarakat atau sebaliknya, ia hanyalah kesenian dimana tanggungjawabnya diserahkan kepada para pemainnya yang lambat-laun pasti lenyap ditelan usia.

c. L e n o n g 

Menyebut jenis seni tradisi yang satu ini maka ia menjadi sangat akrab dengan Betawi. Tampaknya pula lenong yang pernah hidup di Pulau Panggang dan juga pulau yang lain tidak lepas dari wilayah darat. Baharuddin, atau yang lebih dikenal di Pulau Pramuka sebagai Wak Ndut mengatakan bahwa lenong yang pernah ada di pulau tahun 1960-an hingga 1990-an memang diawali oleh pembelajaran yang berasal dari darat (Jakarta), tetapi ketika sudah berada di pulau ia mengalami improvisasi dari para pemainnya.

Dari segi penampilannya, lenong merupakan jenis seni tradisi panggung yang dimainkan (diperankan) oleh beberapa orang menurut cerita-cerita tertentu. Ia seperti drama panggung atau juga tampak seperti teater yang mengisahkan tentang peristiwa keseharian atau juga dongeng-dongeng tentang tokoh-tokoh tertentu. Salah satu lenong di Pulau Panggang yang sempat popular adalah grup lenong Cinta Damai. Grup ini terdiri dari dua puluh lima personil dengan beberapa di antaranya sebagai pemain alat musik gong, gambang, kromong, gihan, genjring, dan ada juga yang berperan sebagai pelantun lagu-lagu.

Dari sekian alat musik tersebut, gambang, kromong, dan gihan dianggap paling sulit. Bahkan untuk belajar ketiganya, beberapa pemain ahli dari Jakarta sempat dihadirkan secara khusus untuk melatih permainan alat musik tersebut. Sedangkan lagu-lagu dan juga pantun yang dilantunkan sangat identik dengan lagu-lagu atau pantun bercorak Betawi.

Wak Dakir, salah seorang mantan pemain lenong yang selalu memainkan peran sebagai perempuan mengatakan bahwa lenong Pulau Panggang tinggallah kenangan. Ia masih mengenang masa-masa indah ketika lenong Pulau Panggang pernah diundang di berbagai acara hingga ke Tangerang dan beberapa pulau yang lain dengan menampilkan cerita-cerita yang membuat penonton merasa larut dalam cerita yang diperankan.

“ Cerita yang biasa diperankan biasanya tentang Ibu tiri, ada juga tentang tokoh-tokoh jagoan, tapi ada juga yang tergantung pada permintaan tuan rumah. Sebelum tampil, kita harus latihan terlebih dahulu. Pada waktu latihan itu, kita semua harus serius seolah-olah cerita itu benar-benar kita yang melakukan. Kalau ceritanya tentang jagoan, kita biasa pukul-memukul dengan sebenarnya sehingga setelah latihan badan jadi sakit semua. Dan ketika sudah tampil, seolah-olah kita semua ini seperi beneran. Bahkan, di antara kita yang suka berperan jadi penjahat, kerap dibenci oleh masyarakat. Padahal itu semua hanya peran di atas panggung. Itulah lenong. Ia bisa membawa emosi masyarakat yang menonton. Sama juga kalau ceritanya tentang ibu tiri, tidak sedikit penonton yang menangis dan membenci pemeran ibu tirinya,” ujar Dakir.

Memasuki tahun 1990-an, lenong mulai ditinggalkan. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa lenong menguap. Di antaranya, pertama, para pemain lenong yang sudah menginjak usia tua memilih untuk beristirahat dan fokus pada penguatan ekonomi rumah tangga. Celakanya, parkirnya para generasi tua pemain lenong tidak melahirkan generasi penerus lenong yang mumpuni. Kedua, masuknya jenis seni modern yang menghinggapi generasi muda dianggap lebih memiliki daya tarik dibanding lenong. Menurut Wak Ndut, anak muda masa kini sepertinya malu dan gengsi untuk belajar lenong karena seni tradisi yang satu ini dianggap sebagai seni kampungan yang tidak bergengsi.

Di samping dua faktor tersebut, terdapat hal lain yang menarik untuk dicermati. Lenong Pulau Panggang sebagai seni tradisi yang hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim tradisional ternyata tidak hidup dengan tenang. Tahun 1990-an ditengarai sebagai masa dimana mulai banyak orang-orang yang semula belajar ilmu agama di darat mulai pulang dengan membawa pengetahuan baru ke pulau. Pengetahuan baru yang meletakkan Islam beroposisi terhadap seni tradisi telah melahirkan suara-suara yang tidak sepihak dengan seni tradisi yang ada. Nawawi, salah satu mantan pemain lenong sendiri kerap mendapat teguran ketika dirinya yang sudah tidak muda lagi tetapi masih getol meminati lenong. Ia dianggap tidak patut lagi bermain lenong karena usia yang beranjak senja seharusnya menuntunnya untuk lebih mendekatkan diri ke Yang Maha Kuasa ketimbang menggandrungi lenong.

Nawawi yang sepertinya tidak ingin berdebat dan mencari masalah dengan beberapa tokoh agama itu akhirnya lebih memilih untuk mundur dari kancah lenong, meskipun didalam dasar hatinya tetap terpaut dengan lenong.

“Gimana ya, saya ini seniman. Saya juga orang yang beragama. Saya cukup tau lah mana yang bilah dan mana yang tidak. Lagian lenong ini kan bukan kesenian yang mengumbar aurat, tidak seperti dangdut atau orkes. Lalu, apanya yang harus dilarang dari lenong ini? Sampai sekarang, kalau saya mendengar lagu-lagu lenong, saya terasa melayang dan semua persoalan hidup saya ini seolah-olah selesai. Itulah jiwa seni saya. Tapi karena saya juga tidak mau ribut dengan orang lain, ya sudahlah, saya mundur saja. Kalaupun nanti saya harus terjun lagi ke dunia lenong, saya lebih memilih untuk menjadi sutradara saja,” ujarnya.

Hal lain yang tidak kalah menarik, menurut pengalaman pribadinya Nawawi, penyebab generasi tua mangkir dari kancah lenong seperti dirinya diperantarai oleh keengganan diri untuk berkonfilk dengan istri dalam kehidupan rumah tangga. Ia mengaku bahwa ketika dirinya memerankan tokoh tertentu di pertunjukan lenong dan harus berlawanan dengan seorang perempuan yang berperan menjadi istrinya, maka setiap perilaku dan gerakan yang memperlihatkan keakraban sebagai suami istri, meskipun hanya sebatas peran di atas panggung- bisa menyeret dan atau menimbulkan persoalan dalam keseharian rumah tangganya.

Adanya berbagai faktor yang memengaruhi lenyapnya seni tradisi pertunjukan lenong itulah yang bisa dilihat dan sekaligus menjadi penjelas mengapa lenong tidak lagi menjadi suatu ruang ekspresi berkesenian masyarakat. Kini, lenong mengalami nasib seperti rebana. Ia mewujud dalam kenangan generasi tua tentang masa lalu. Bahkan, peralatannya pun tinggal benda-benda mati yang tidak tersentuh, hanya sesekali keluar sarang untuk sekedar mengingat-ingat kejayaan masa lalu yang telah pudar.

d. M a r a w i s 

Seni tradisi islam yang satu ini merupakan fenomena kesenian yang relatif baru di Pulau Panggang. Meskipun sebelumnya pernah ada kesenian seperti Marawis di Pulau Panggang , tetapi ketika dicermati ternyata kesenian yang sudah ada itu lebih identik dengan hadrah, yaitu suatu seni tradisi mirip rebana tetapi dibawakan dengan memainkan kendang serta diiringi pula oleh tarian. Hadrah sendiri tidak memiliki sejarah yang memadai di Pulau ini karena tidak dikembangkan dengan baik.

Heri, seorang pengajar marawis di pulau ini mengatakan bahwa ketika dirinya tiba di pulau ini lima tahun yang lalu dari darat, ia diminta oleh beberapa orang di Pulau Panggang untuk mengajarkan marawis pada anak-anak yang seusia SD atau SMP. Karena pada dasarnya ia sangat menyukai jenis kesenian yang satu ini, maka ia tidak keberatan sama sekali.

Demikian halnya yang terjadi di sekolah SMA 69 Pulau Pramuka tempat ia mengajar. Ia juga mengajarkan marawis dengan intensif. watak yang dimiliki oleh murid tersebut. Jurus dan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Nek Deli itu ada yang berunsur lembut, keras, berbentuk seni, tenaga dalam, dan banyak lagi. Masing-masing murid akan dilihat dulu oleh Nek Deli Mulai dari cara memainkan kendang, cara menari, hingga melantunkan lagu-lagu bernafaskan Islam. Hingga saat ini, marawis termasuk seni tradisi bernuansa Islam yang masih baru dan terus diupayakan untuk dikembangkan.

“Marawis ini masih dalam tahap rintisan. Saya sendiri bersemangat untuk melatih anak-anak karena mereka juga menyukai seni ini. Saya sudah merasa bersyukur karena anak-anak binaan saya sudah bisa tampil di depan umum untuk membawakan marawis. Seperti ketika mereka tampil di acara peringatan hari besar Islam, ternyata sambutannya cukup baik. Kini beberapa orang dari pulau yang lain juga meminta saya untuk melatih. Tapi saya belum memiliki waktu yang banyak untuk bisa kesana-kemari mengajarkan marawis. Mungkin kalau anak-anak yang saya bina di sini sudah jadi, saya bisa saja untuk mengajarkan marawis di pulau yang lain,” ujar Heri.

e. Pencak Silat 

Salah satu yang dikenal banyak orang terkait Pulau Panggang adalah pencak silatnya. Berbagai cerita tentang masa lalu yang penuh oleh tokoh-tokoh lokal seperti Nek Sadeli, Nek Aing, Habib Ali, Darah Putih sangat identik dengan cerita tentang ketokohan individu baik dalam penguasaan ilmu agama maupun ilmu beladiri pencak silat. Tampaknya, pencak silat Pulau Panggang merupakan jenis seni ketangkasan yang tidak pernah pudar hingga saat ini, meskipun harus diakui pula bahwa ia mengalami penurunan kuantitas penerusnya.

Menurut informasi dari beberapa orang, pencak silat Pulau Panggang sangatlah unik karena unsur-unsur gerak dan jurus-jurus yang ada merupakan serapan dari berbagai aliran dan jenis jurus silat yang ada di seluruh pulau Jawa. Hal tersebut disebabkan oleh kesukaan para pendahulu dan tokoh Pulau panggang yang kerap pergi keliling pulau Jawa untuk menimba ilmu beladiri dari berbagai perguruan dan pesantren yang tersebar di Pulau Jawa.

Pak Ilin, salah satu guru pencak silat untuk generasi masa kini mengatakan bahwa pencak silat di Pulau Panggang pertama kali dikembangkan oleh Nek Sadeli atau yang biasa disebut dengan Nek Deli. Tokoh legendaris yang diperkirakan hidup pada abad 18-an itulah yang diyakini oleh penduduk pulau panggang masa kini sebagai tokoh yang mengajarkan pencak silat secara turun-temurun.

“Saya sendiri tidak belajar secara langsung kepada Nek Deli, tetapi melalui murid-muridnya. Menurut cerita, murid Nek Deli itu sangat banyak, tetapi anehnya murid-murid beliau yang banyak itu diajarkan jenis-jenis jurus yang berbeda-beda pula, tergantung pada kira-kira lebih cocok untuk belajar jenis jurus macam apa. Jika orangnya dinilai tepat untuk memelajari jenis jurus yang keras, maka jurus itulah yang diajarkan. Jadi, bisa dibayangkan betapa luasnya ilmu yang dimiliki oleh Nek Deli,” ujar pak Ilin.

Pak Ilin sendiri memelajari jenis jurus gerak kehadiran, suatu varian jurus yang terdiri dari 12 jurus dan diakhiri oleh jurus sikat duabelas. Ia disebut dengan kehadiran karena untuk memelajari jurus ini harus menghadirkan kekuatan gaib yang membantu menggerakkan tubuh sang murid agar lebih mudah memelajari berbagai langkah jurus dengan baik. Di samping mengajarkan gerak jurus fisik yang terdiri dari 12 jurus itu, Pak Ilin juga melambarinya dengan berbagai amalan khusus, seperti puasa dan bacaan-bacaan tertentu.

“ Sebenarnya jurus yang dimiliki oleh Nek Deli itu bernama Jurus Alif, artinya adalah tauhid. Berbagai jenis jurus yang dikuasai oleh Nek Deli itu hanyalah cabang-cabangnya saja, tetapi semuanya itu menuju pada hakikat yang satu yaitu Allah swt. Oleh sebab itulah, belajar ilmu beladiri berarti belajar pula tentang tauhid. Jika bisa diibaratkan, maka jurus Alif itu menunjukkan hakikat Allah, sedangkan variasi jurusnya adalah asmaul-husna, atau cabang-cabang dari hakikat itu sendiri. Begitulah kira-kira jurus yang dimiliki dan diajarkan oleh Nek Deli. Bayangkan saja, jika seseorang sudah sampai menguasai jrus alif dengan benar, siapa sih di antara sekian manusia yang bisa mengalahkan? Dulu ada cerita kalau Nek Deli itu sering ditantang oleh para pendekar dari berbagai tempat, tapi tidak ada satupun yang bisa mengalahkan Nek Deli, maka pencak silat Pulau Panggang ini sangat terkenal dan dihormati oleh banyak orang di berbagai tempat,” cerita pak Ilin.

Selain pencak silat Nek Deli, di Pulau Panggang juga dikenal dengan pencak silat aliran Nek Aing. Jika Nek Deli diyakini sebagian orang berasal dari Mandar, ada juga yang mengatakan ia berasal dari Banten, maka Nek Aing (yang aslinya bernama Mursalin) adalah tokoh yang berasal dari daerah Cemplang, Bogor. Nek Aing sendiri merupakan pengajar ilmu agama Islam dan juga ilmu beladiri yang meninggal pada tahun 1970-an. Generasi tua yang ada di Pulau Panggang ini masih banyak yang sempat bertemu muka dengan Nek Aing.

Meskipun secara gerak fisik jurus Nek Aing berbeda dengan Nek Deli, tetapi hakikat yang diajarkan sama, yaitu menuju kepada pemahaman akan ketauhidan. Jika jurus Nek Deli mencapai 12 jurus, maka jurus Nek Aing hanya berjumlah 9. Tetapi, perbedaan jumlah jurus keduanya tidak bisa dijadikan ukuran mana yang lebih baik. Bagi sebagian orang Pulau Panggang, semuanya tergantung pada masing-masing murid yang belajar. Baik yang belajar pencak silat dari aliran Nek Deli maupun Nek Aing semuanya harus mengedepankan sikap rendah hati dan ketauhidan itu.

Pak Ilin mengatakan bahwa Nek Deli dulu sempat berucap bahwa siapapun yang memiliki jurus dan menyerang terlebih dahulu, maka ia pasti kalah. Pernyataan ini, menurut pak Ilin adalah anjuran agar tidak menggunakan kepandaian beladiri untuk digunakan secara sewenang-wenang. Ilmu beladiri hanya perlu digunakan pada situasi-siatuasi tertentu, terutama ketika harus mempertahankan diri karena diserang oleh pihak lain.

Kini, pencak silat pulau Panggang mulai kehilangan penerus. Hanya sedikit dari generasi muda masa kini yang mau belajar pencak silat. Tidak seperti dulu dimana hampir semua penduduk pulau panggang, khususnya yang laki-laki belajar pencak silat. Sudut pandang generasi masa kini mulai berubah, di samping konteks jaman juga terus bergerak menuju perubahan. Kini, generasi muda lebih tertarik untuk mendalami ilmu pengetahuan dengan belajar dan sekolah hingga keluar pulau. Perubahan lingkungan sosial sangat memengaruhi keberlanjutan pencak silat Pulau Panggang. Hingga saat ini tidak ada yang berani bertaruh apakah keberadaan pencak silat Pulau Panggang akan tetap bertahan untuk beberapa tahun ke depan.

Silat kebanyakan jurusnya berasal dari Mandar, kemudian dicampur dengan siat Banten dan Betawi. Untuk penggunaan senjata tetap sama, trisula, golok, dan toya yang lebih banyak digunakan. Dalam silat P. Panggang jurus yang digunakan lebih banyak jurus untuk melumpuhkan lawan, bukan jurus untuk bertahan. dengan tiga jurus diharapkan lawan langsung ‘lumpuh’. Jika lawan setelah digebrak tidak lumpuh maka pertahanan yang dianjurkanpun tak lebih menahan tiga jurus lawan, setelah itu kembali melawan. Oleh karena itu silat P. Panggang harus disertifikasi terlebih dahulu untuk menjadi salah satu cabang dari persilatan.

Menurut Habib Zen permasalahan silat ini bukan pada hal-hal yang sifatnya fisik, namun sesuai dengan akar katanya, silat berasal dari silaturahmi, dengan tujuan memperkuat persaudaraan, menyebarkan Islam, dan membentuk karakter dan budi pekerti. Silat sebagai sebuah pertunjukkan (bukan ilmu bela diri) sedikit sekali digunakan di pulau Panggang. Menurut Habib Zen ini disebabkan karena sejarah pulau Panggang yang penuh dengan perjuangan. Diawali dengan berbagai legenda, seperti legenda Darah Putih, Kapitan Saudin, dan Mohammad Sadli bin Kohar yang melegenda sebagai pendekar yang mengajarkan ilmu bela diri dan mempertahankan pulau Panggang dari serbuan bajak laut.

Dalam perjalanannya hanya Mohammad Sadlilah yang paling lengkap ceritanya dan paling disebut-sebut sebagai orang yang mengajarkan silat ke seluruh P. Panggang. Dalam kisahnya Mohammad Sadli pada usia 19 tahun pergi mengembara meninggalkan P. Panggang, beberapa puluh tahun kemudian kembali dan mengajarkan silat.

Tokoh lainnya adalah Budin dan Miang yang tercatat menjadi guru silat di P. Panggang. Sedangkan nama-nama lainnya tidak diingat oleh masyarakat. Menurut Habib Zen, diperkirakan pencak silat ini diperkenalkan tahun 1911 dengan beranggotakan ± 20 orang, kemudian berkembang dan mencapai ratusan orang. Pencak silat pada masa ini bertujuan sebagai [1] olah tubuh dan pikiran, [2] seni beladiri, [3] mempererat tali silaturahmi, [4] menumbuhkan rasa percaya diri, [5] sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Sekarang pencak silat di dipersatukan menjadi Ikatan Pencak Silat Pulau Panggang (IPSPP), yang bercirikan jurus ‘anak pukul’ (dikenal dengan istilah ‘gerak’-sekali pukul tidak pulang kembali dan harus tepat sasaran). Jurus ini tidaklah diperuntukkan sebagai ‘seni untuk seni’ (seni pertunjukkan) namun lebih pada kemampuan mempertahankan diri (bela diri), sedangkan untuk seni pertunjukkan orang pulau Panggang lebih mengenal istilah ‘fragmen’ yang digunakan untuk menampilkan keindahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar